Sabtu, 17 Oktober 2009

AGAMA MODERAT

AGAMA MODERAT, PESANTREN DAN TERORISME
Oleh : Alis Arlianti
Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan, Prodi Keperawatan S-1, Semester VII
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Sejatinya Terorisme
Kata teror berasal dari bahasa Yunani, terer yng artinya menakut-nakuti, perbuatan macam apapun, jika itu sudah sampai pada membuat orang lain ngeri dan tidan nyaman, bisa disebut sebagai teror. Lebih-lebih, jika perbuatan tersebut benar-benar melakukan orang lain. Terorisme adalah sejenis paham sekelompok akalahnya golongan yang mengedepakan kekerasan.
Machasin, dalam sebuah mkalahnya, “Fundamentalisme dan Terorisme” yang terbuat dalam buku “Negara Tuhan” meyebutkan beragam definisi terorisme, orang lain: Pertama, pemakaian terorisme kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik (merebut, mempertahankan dan menerapkan kekuasaan). Kedua, keselruhan tindakan kekerasan, penyerangan, penyanderaan warga fisik yang dlakukan oleh sebuah organisasi plitik untuk menunjukkan kesan luas atas suatu negara, negaranya sendiri, maupun negara yang lain. Ketiga, sikap menakut-nakuti. Keempat, penggunaan kekerasan dan intimidasi terutama untuk tujuan politik. Kelima, kekerasan yang sangat atajelas ditujukan kepada warga sipil yang dipilih secara acak dalam usaha menunjukka perasaan takut yang meyebar kemana-mana karenanya mempengaruhi kebijakan.
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan: Usaha menciptakan ketakutan dan kekejaman oleh seseorang atau golongan (KBBL, 2000). Singkatnya, terorisme berarti berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dan kengerian oleh orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan tertentu.
Dari waktu ke waktu, terorisme mengalami semacam pergeseran makna. Dulu, terorisme dilakukan oleh orang-orang yang dengan motivasi-motivasi tertentu dan biasanya senan tiasa berhubungan dengan keentingan politis. Namun belakangan, terorisme berkembang lebih menakutkan lagi. Terorisme tidak lagi berkaitan hal-hal yang bersifat partisan., seperti perjuangan untuk kemerdekaan, melainkan terorisme yang tanpa tujuan realistis. Kapanpun, di mana pun, tanpa alasan apapunjuga, orang bisa saja melakukan terorisme. Terorisme semacam inilah yang olehh Habermas, salah seorang filosof Madzhab Frankfrut dianggap sebagai teror yang paling membahayakan.
Bagaimana para pemikir Islam menanggapi terorisme? Ini barangkali pertanyaan yang menyangkut di benak kita. Tentu saja akan kita temukan banyak pendapat tentangnya. Tak bisa dipungkiri, ada orang-orang tertentu yang “mengesankannya” sebagai strategi jihad. Sebaliknya, banyak sekali ulama-ulama yang menolaknya.
Menurut Hasan Hanafi, salah satu pemikir Islam konteporer, terorisme merupakan sebuah wujud yang dualistis. Di mana di dalamnya terkandung kebaikan, sekaligus keburukan. Terorisme pada mulanya dianggap sebagai perlawanan da pembebasan, tapi pada akhirnya terorisme menyebabkan munculnya kekerasan dan jatuhnya korban-korban yang takberdosa.
Syaikh Al-Azhar, Sayeed Thauthawi, dalam salah satu fatwanya mwnyebutkan, bom bunuh diri sebagai peruatan terkutuk dan jauh di luar tradisi Islam. Bom bunuh diri terdiri mengakibatkan kemadharatan yang lebih besar daripada kemaslahatan. Menurut beliau, bom bunuh diri telah menyebabkan anak-anak, kalangan perempuan, orang tua, kehilangan nyawa. Padahal Rasulullah yang menjadi panutan orang Islam, melarang dengan tegas pembunuhan atas anak-anak dan orang tua. Rasulullah juga melarang kita merusak pohon-pohon, meski dalam keadaan perang.

Pesantren dan Terorisme
Sejak peristiwa 11 September 2001 di Amerika Seikat, lembaga-lembaga seperti madrasah dan belakangan pesantren juga di anggap kalangan barat tertentu sebagai the breeding ground. Tempat menjamunya, radikalisme,. Dalam konteks Afghanistan, mungkin anggapan itu benar; istilah ‘taliban’…yang berkuasa di negara itu sampai serbuan AS Afghanistan pasca 9/11…secara harfiah dapat berarti sebagai “murid-murid” (atau santri) yang berbaris di madrasah. Madrasah di Afghanistan dan juga di Pakistan umumnya emang beroprasi secara Independen di luar arus utama pendidikan.
Pesantren di Indonesia secara konfensional di pandang sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam, karena tradisinya yang panjang; atau lembaga pendidikan Islam tradisional, karna umumnya di miliki para kiai yang berafilasi kepada Nahdlatul Ulama (NU) yang di pandang sebagai organisasi ‘islam tradisional’. Madrasah di Indonesia, pada pihak lain, semula merupakan lembaga pendidikan yang umumnya didirikan kaum Muslim modernis untuk merespon ekspansi sekolah-sekolah model Belanda. dalam perkembangannya. sistem dan kelembagaan madrasah juga di adopsi banyak pesantren.
Sejarah pesantren dan madrasah selanjutnya sejak 1920-an adalah sejarah pembahasan pendidikan Islam, yang menemukan momentum terkuatnya pada 1970-an ketika Menteri Agama Mukti Ali menemukan sekitar 70 % mata pelajaran umum kedalam kurikulum Madrasah. Berkat pembahasan ini, puncaknya adalah pengakuan tentang ekuivalensi pendidikan Madrasah dengan sekolah umum seperti di tegaskan UU Sisdiknas 1989.
Sejak tahun 1970-an pula pesantren berkembang semacam “holding instution”, lembaga yang mencakup tidak hanya institusi pendidikan agama baik yang khusus untuk tafagguh fid-din dan yang madrasah…tetapi juga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi umum. Bahkan, pesantren juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi rakyat seperti koperasi dan usaha kecil, teknologi tempat guna, kesehatan masy sampai kepada konservasi lingkungan. Dan pesantren tidak lagi hanya terdapat di pedesaan; sejak 1980-an, banyak pesantren bermunculan di kawasan perkotaan, muncul gejala yang saya sebut sebagai ‘pesantren urban’. Bahkan, sistem 'santri mukim’ dengan mengunakan istilah “boarding”, yang di lengkapi figur ‘kiai’ di pesantren.
Berbagai pembunuan dan perkembangan itulah yang membuat pesantren mampu tetap bertahan di tengah berbagai perubahan yang begitu cepat dan berdampak luas dalam masyarakat; dengan begitu pula, pesantren sekaligus mampu menampilkan citra yang kian positif terhadap distingsi pendidikannya. Semua itu juga, yang membuat anak-anak lulusan pesantren, sejak 1980-an mampu berkompetensi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara; tidak hanya di negara-negara Timur Tengah, namun juga dinegara-negara Barat. Mereka ini pada gilirannya memperkaya dan memperkuat generasi baru kaum terpelajar dan intelektual muslim di negara ini.
Memandang pengalaman pesantren, sepatutnyalah para pemimpin negeri ini dan masyarakat luas memberikan apresiasi yang selayaknya diterima pesantren. Adanya segelintr orang yang merupakan alumni pesantren terlibat terorisme, semestinya tidak menutupi kenyataan bahwa hal itu lebih terkait dengan pengalaman mereka di Afganistan, Pakistan, atau Palestina Sealtan, atau terkait interaksi mereka dengan orang-orang yang memang memliki ediologi kekerasan seperti Dr Azhari dan Noordin M Top. Sebab itu janganlah bersikap ‘karena nilai setitik, rusak susu sebelanga’ atau ‘marah kepada tikus, lumbung dibakar’. Sekali lagi, perlu kearifan dalam memandang pesantren dan para santrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar