Minggu, 28 Juni 2009

SATUAN ACARA PENYULUHAN
(SAP)
“ ANEMIA DEFISIENSI BESI ”



Oleh :
ALIS ARLIANTI
NIM.0611020016



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2009
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Pokok bahasan : Anemia Defisiensi Besi
Sub pokok bahasan : Pengertian, Penyebab, tanda dan gejala, Pengobatan dan pencegahan Anemia defisiensi besi.
Sasaran : Rt 06 Rw 04 Desa Pamijen
Hari/tanggal : Selasa, 23 juni 2009
Waktu : 15 menit
Tempat : Kediaman Bapak Teguh Selaku Ketua Rt 06 Rw 04 Desa pamijen
Penyuluh : Alis Arlianti
Gizi sampai sekarang masih menjadi permasalahan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Ketersediaan sumber makanan yang cukup dan masalah ekonomi mungkin menjadi penyebab kekurangan gizi. Ada beberapa permasalahan gizi di Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi permasalahan gizi utama di Indonesia seperti kekurangan kalori protein, kekurangan vitamin A, gangguan akibat kurang iodium, dan gangguan zat besi.
Defisiensi besi masih menempati tempat yang perlu mendapat perhatian khusus. Sampai sekarang, defisiensi besi belum mendapat titik terang untuk mengatasi bagaimana mengatasinya, terutama untuk kalangan rawan defisiensi besi seperti kalangan ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak perkerja atau buruh yang berpenghasilan rendah (Wijayanti,Y,1989).
Masyarakat Rt 06 Rw 04 adalah Masyarakat Desa Pamijen yang mempunyai karakteristik bervariasi.Berdasarkan survei yang telah dilakukan masyarakat desa pamijen khususnya Rt 06 dipandang dari sudut kebersihan lingkungan sudah cukup memadai tetapi dari 54 KK yang ada di Rt 06 terdapat 20 KK yang salah satu anggota keluarganya pernah mengalami Anemia Defisiensi besi. Dari 54 KK yang ada terdapat 15 keluarga yang tergolong berpendidikan rendah .hal itulah yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya kejadian anemia Defisiensi besi di Rt 06.maka dari itu perlu diadakan penyuluhan yang penyuluhan itu berfungsi untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat yang belum mengetahui hal tentang anemia defisiensi besi.
II. Tujuan Instruksional Umum :
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan, Masyarakat Rt 06 Rw 04 Desa Pamijen yang mengalami Anemia Defisiensi Besi dapat memahami dengan baik.
III. Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan selama 1 x 15 menit, diharapkan Masyarakat dengan anemia Defisiensi Besi di Masyarakat Rt 06 Rw 04 Desa Pamijen dapat mengetahui tentang:
1. Pengertian Anemia Defisiensi Besi
2. Penyebab/ Etiologi terjadinya Anemia Defisiensi Besi
3. Macam-macam anemia pada ibu hamil dan penyebabnya
4. Akibat Anemia Defisiensi Besi
5. Penatalaksanaan dan pencegahan Anemia Defisiensi Besi
IV. Metode
Ceramah dan diskusi
V. Media
Lembar balik dan Leaflet
VI. Garis besar materi
Terlampir
VII. Kebutuhan belajar mengajar :
No
Kegiatan
Penyuluh
Peserta
Waktu
1.
Pendahuluan
 Salam pembuka
Menyampaikan tujuan penyuluhan
 Apersepsi
 Menjawab salam
 Menyimak
Mendengarkan,menjawab pertanyaan
2 mnt
2.
Kerja
 Penyampaian garis besar materi anemia defisiensi besi
 Memberi kesempatan peserta untuk bertanya
 Menjawab pertanyaan
 Evaluasi
 Mendengarkan dengan penuh perhatian
 Menanyakan hal-hal yang belum jelas
 Memperhatikan jawaban dari penceramah
 Menjawab pertanyaan
12 mnt
3.
Penutup
 Menyimpulkan
 Salam penutup
 Mendengarkan
 Menjawab salam
1 mnt


VIII. Kriteria Evaluasi:
1. Apakah masyarakat mampu menjelaskan pengertian Anemia Defisiensi Besi
2. Apakah masyarakat mengetahui penyebab Anemia Defisiensi Besi
3. Apakah masyarakat mengerti ciri-ciri Anemia Defisiensi Besi
4.Apakah masyarakat mampu menyebutkan macam-macam Anemia Defisiensi Besi dan penyebabnya
5. Apakah masyarakat tahu cara-cara penatalaksanaan dan pencegahan Anemia Defisiensi Besi
IX. Sumber Kepustakaan
Library USU. 2008. Anemia Defisiensi Besi Pada Balita, (Online), (http://www.library.usu.ac.id/modules.php?op=modload& name=Downloads&file=index&req=getit&lid=996,diakses tanggal 18 Juni 2009)
Waspadji, Sarwono ,Soeparman. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika
Medicastore. 2008. Aldactone, (Online), (http://www.medicastore.com/med/detail_obat.php?, diakses tanggal 18 Juni 2009)
Medicasatore. 2008. Lasix (Online), (http://www.medicastore.com/med/detail_obat.php?, diakses tanggal 18 Juni 2009)

Rabu, 24 Juni 2009

BRONKHITIS

BRONKHITIS

Pengertian bronkhitis
Bronkhitis adalah hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain (Perawatan Medikal Bedah 2, 1998, hal : 490).
Anatomi dan fisiologi sistem pernafasan
Anatomi sistem pernafasan
Saluran pernafasan bagian atas
Rongga hidung
Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh sel – sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran, melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru – paru.
Faring
Adalah struktur yang menghubungkan hidung dengan rongga mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region ; nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Fungsi utamanya adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratoriun dan digestif.
Laring
Adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakhea. Fungsi utamanya adalah untuk memungkinkan terjadinya lokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
Saluran pernafasan bagian bawah.
Trakhea
Disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci, tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.
ronkus
Broncus terdiri atas 2 bagian yaitu broncus kanan dan kiri. Broncus kanan lebih pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea yang arahnya hampir vertikal. Bronchus kiri lebih panjang dan lebih sempit, merupakan kelanjutan dari trakhea dengan sudut yang lebih tajam. Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang menjadi bronchus lobaris kemudian bronchus segmentaliis. Bronkus dan bronkiolus dilapisi oleh sel – sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut silia, yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring.
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori yang menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel – sel alveolar, sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Sel alveolar tipe II sel – sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.
Fisiologi sistem pernafasan
Pernafasan mencakup 2 proses, yaitu :
Pernafasan luar yaitu proses penyerapan oksigen (O2) dan pengeluaran carbondioksida (CO2) secara keseluruhan.
Pernafasan dalam yaitu proses pertukaran gas antara sel jaringan dengan cairan sekitarnya (penggunaan oksigen dalam sel).
Proses fisiologi pernafasan dalam menjalankan fungsinya mencakup 3 proses yaitu :
Ventilasi yaitu proses keluar masuknya udara dari atmosfir ke alveoli paru.
Difusi yaitu proses perpindahan/pertukaran gas dari alveoli ke dalam kapiler paru.
Transpor yaitu proses perpindahan oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.
Etiologi
Adalah 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok, infeksi dari polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial.
Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Comite on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernafasan juga dapat menyebabkan bronkostriksi akut.
Infeksi
Eksaserbasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Hemophilus influenza dan streptococcus pneumonie.
Polusi
Pulusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab, tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat – zat kimia dapat juga menyebabkan bronchitis adalah zat – zat pereduksi seperti O2, zat – zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak, kecuali pada penderita defisiensi alfa – 1 – antitripsin yang merupakan suatu problem, dimana kelainan ini diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru.
Faktor sosial ekonomi
Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
Patofisiologi
Penemuan patologis dari bronchitis adalah hipertropi dari kelenjar mukosa bronchus dan peningkatan sejumlah sel goblet disertai dengan infiltrasi sel radang dan ini mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronchiolus yang kecil – kecil sedemikian rupa sampai bronchiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara lain yang biasa terdapat pada daerah industri. Polusi tersebut dapat memperlambat aktifitas silia dan pagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah.
Mukus yang berlebihan terjadi akibat displasia. Sel – sel penghasil mukus di bronkhus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan – perubahan pada sel – sel penghasil mukus dan sel – sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus dalam jumlah besar yang sulit dikeluarkan dari saluran nafas.
Manifestasi klinis
Keluhan
Batuk, mulai dengan batuk – batuk pagi hari, dan makin lama batuk makin berat, timbul siang hari maupun malam hari, penderita terganggu tidurnya.
Dahak, sputum putih/mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopuruen dan kental.
Sesak bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang – kadang disertai tanda – tanda payah jantung kanan, lama kelamaan timbul kor pulmonal yang menetap.
Pemeriksaan fisik
Pada stadium ini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang – kadang terdengar ronchi pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronchi pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai bising mengi. Juga didapatkan tanda – tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara nafas dan suara jantung lemah, kadang – kadang disertai kontraksi otot – otot pernafasan tambahan.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan radiologis
Tubular shadow atau traun lines terlihat bayangan garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. bayangan tersebut adalah bayangan bronchus yang menebal.
Corak paru bertambah
Analisa gas darah
Pa O2 : rendah (normal 25 – 100 mmHg)
Pa CO2 : tinggi (normal 36 – 44 mmHg).
Saturasi hemoglobin menurun.
Eritropoesis bertambah.
Penanganan
Tindakan suportif
Pendidikan bagi pasien dan keluarganya tentang :
Menghindari merokok
Menghindari iritan lainnya yang dapat terhirup.
Mengontrol suhu dan kelembaban lingkungan.
Nutrisi yang baik.
Hidrasi yang adekuat.
Terapi khusus (pengobatan).
Bronchodilator
Antimikroba
Kortikosteroid
Terapi pernafasan
Terapi aerosol
Terapi oksigen
Penyesuaian fisik
Latihan relaksasi
Meditasi
Menahan nafas
Rehabilitasi
Prognosis
Prognosis jangka panjang maupun jangka pendek bergantung pada umur dan gejala klinik waktu berobat.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pengkajian.
Data dasar pengkajian pada pasien dengan bronchitis :
Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari.
Ketidakmampuan untuk tidur.
Dispnoe pada saat istirahat.
Tanda : Keletihan
Gelisah, insomnia.
Kelemahan umum/kehilangan massa otot.
Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat.
Distensi vena leher.
Edema dependent
Bunyi jantung redup.
Warna kulit/membran mukosa normal/cyanosis
Pucat, dapat menunjukkan anemi.
Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor resiko
Perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
Makanan/cairan
Gejala : Mual/muntah.
Nafsu makan buruk/anoreksia
Ketidakmampuan untuk makan
Penurunan berat badan, peningkatan berat badan
Tanda : Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
Penurunan berat badan, palpitasi abdomen
Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
Pernafasan
Gejala : Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama minimun 3 bulan berturut – turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun.
Episode batuk hilang timbul.
Tanda : Pernafasan biasa cepat.
Penggunaan otot bantu pernafasan
Bentuk barel chest, gerakan diafragma minimal.
Bunyi nafas ronchi
Perkusi hyperresonan pada area paru.
Warna pucat dengan cyanosis bibir dan dasar kuku, abu – abu keseluruhan.
Keamanan
Gejala : Riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan.
Adanya/berulangnya infeksi.
Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
Interaksi sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan
Kegagalan dukungan/terhadap pasangan/orang dekat
Penyakit lama/ketidakmampuan membaik.
Tanda : Ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena distress pernafasan
Keterbatasan mobilitas fisik.
Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
Pemeriksaan diagnostik :
Sinar x dada : Dapat menyatakan hiperinflasi paru – paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, hasil normal selama periode remisi.
Tes fungsi paru : Untuk menentukan penyebab dispnoe, melihat obstruksi, memperkirakan derajat disfungsi.
TLC : Meningkat
Volume residu : Meningkat.
FEV1/FVC : Rasio volume meningkat.
GDA : PaO2 dan PaCO2 menurun, pH Normal.
Bronchogram : Menunjukkan di latasi silinder bronchus saat inspirasi, pembesaran duktus mukosa.
Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen.
EKG : Disritmia atrial, peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF.
Diagnosa keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronchus.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan broncokontriksi, mukus.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan dispnoe, anoreksia, mual muntah.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan menetapnya sekret, proses penyakit kronis.
Intoleran aktifitas berhubungan dengan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan dirumah.
Perencanaan Keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Tujuan :
Mempertahankan jalan nafas paten.
Rencana Tindakan:
Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.
Kaji/pantau frekuensi pernafasan.
Rasional : Tachipnoe biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan selama / adanya proses infeksi akut.
Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir
Rasional : Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispoe dan menurunkan jebakan udara.
Observasi karakteristik batuk
Rasional : Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada lansia, penyakit akut atau kelemahan
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari
Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronchus.
Tujuan :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Rencana Tindakan:
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit.
Tinggikan kepala tempat tidur, dorong nafas dalam.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispenea dan kerja nafas.
Auskultasi bunyi nafas.
Rasional : Bunyi nafas makin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi
Awasi tanda vital dan irama jantung
Rasional : Takikardia, disritmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Awasi GDA
Rasional : PaCO¬2 biasanya meningkat, dan PaO2 menurun sehingga hipoksia terjadi derajat lebih besar/kecil.
Berikan O2 tambahan sesuai dengan indikasi hasil GDA
Rasional : Dapat memperbaiki/mencegah buruknya hipoksia.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan broncokontriksi, mukus.
Tujuan : perbaikan dalam pola nafas.
Rencana Tindakan:
Ajarkan pasien pernafasan diafragmatik dan pernafasan bibir
Rasional : Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif.
Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dan periode istirahat
Rasional : memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.
Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernafasan jika diharuskan
Rasional : menguatkan dan mengkondisikan otot-otot pernafasan.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan dispnoe, anoreksia, mual muntah.
Tujuan :
Menunjukkan peningkatan berat badan.
Rencana Tindakan:
Kaji kebiasaan diet.
Rasional : Pasien distress pernafasan akut, anoreksia karena dispnea, produksi sputum.
Auskultasi bunyi usus
Rasional : Penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster.
Berikan perawatan oral
Rasional : Rasa tidak enak, bau adalah pencegahan utama yang dapat membuat mual dan muntah.
Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Berguna menentukan kebutuhan kalori dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Konsul ahli gizi
Rasional : Kebutuhan kalori yang didasarkan pada kebutuhan individu memberikan nutrisi maksimal.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan menetapnya sekret, proses penyakit kronis.
Tujuan : mengidentifikasi intervensi untuk mencegah resiko tinggi
Rencana Tindakan:
Awasi suhu.
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
Observasi warna, bau sputum.
Rasional : Sekret berbau, kuning dan kehijauan menunjukkan adanya infeksi.
Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan sputum.
Rasional : mencegah penyebaran patogen.
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Rasional : Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tekanan darah terhadap infeksi.
Berikan anti mikroba sesuai indikasi
Rasional : Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur.
Intoleran aktifitas berhubungan dengan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan :
Menunjukkan perbaikan dengan aktivitas intoleran
Rencana tindakan:
Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan exercise, berjalan perlahan atau latihan yang sesuai.
Rasional : Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak O2.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan : pasien akan mengalami penurunan rasa ketakutan dan ansietas.
Rencana tindakan:
Kaji tingkat kecemasan (ringan, sedang, berat).
Rasional : Dengan mengetahui tingkat kecemasan klien, sehingga memudahkan tindakan selanjutnya.
Berikan dorongan emosional.
Rasional : Dukungan yang baik memberikan semangat tinggi untuk menerima keadaan penyakit yang dialami.
Beri dorongan mengungkapkan ketakutan/masalah
Rasional : Mengungkapkan masalah yang dirasakan akan mengurangi beban pikiran yang dirasakan
Jelaskan jenis prosedur dari pengobatan
Rasional : Penjelasan yang tepat dan memahami penyakitnya sehingga mau bekerjasama dalam tindakan perawatan dan pengobatan.
Beri dorongan spiritual
Rasional : Diharapkan kesabaran yang tinggi untuk menjalani perawatan dan menyerahkan pada TYME atas kesembuhannya.
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan di rumah
Tujuan : Mengatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.
Intervensi :
Jelaskan proses penyakit individu
Rasional : Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan partisipasi pada rencana pengobatan.
Instruksikan untuk latihan afas, batuk efektif dan latihan kondisi umum.
Rasional : Nafas bibir dan nafas abdominal membantu meminimalkan kolaps jalan nafas dan meningkatkan toleransi aktivitas
Diskusikan faktor individu yang meningkatkan kondisi misalnya udara, serbuk, asap tembakau.
Rasional : Faktor lingkungan dapat menimbulkan iritasi bronchial dan peningkatan produksi sekret jalan nafas.
Impelementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan jalan nafas, mempermudah pertukaran gas, meningkatkan masukan nutrisi, mencegah komplikasi, memperlambat memperburuknya kondisi, memberikan informasi tentang proses penyakit (Doenges Marilynn E, 2000, Remcana Asuhan Keperawatan)
Evaluasi.
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai,
Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan/hasil pasien yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu : jalan nafas efektif, pola nafas efektif, pertukaran gas adekuat, masukan nutrisi adekuat, infeksi tidak terjadi, intolerans aktivitas meningkat, kecemasan berkurang/hilang, klien memahami kondisi penyakitnya. (Keliat Budi Anna, 1994, Proses Keperawatan)


DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzanne C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, ; alih bahasa, Agung Waluyo; editor Monica Ester, Edisi 8, EGC; Jakarta.
2. Carolin, Elizabeth J, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2002.
3. Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ; alih bahasa, I Made Kariasa ; editor, Monica Ester, Edisi 3, EGC ; Jakarta.
4. Tucker, Susan Martin, 1998, Standar Perawatan Pasien; Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta.
5. Soeparman, Sarwono Waspadji, 1998, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Penerbit FKUI, Jakarta.
6. Long, Barbara C, 1998, Perawatan Medikal Bedah, 1998, EGC, Jakarta.
7. PRICE, Sylvia Anderson, 1994, Patofisiologi; Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, EGC, Jakarta.
8. Keliat, Budi Anna, Proses Keperawatan

GANGGUAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

GANGGUAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Definisi
Setiap bentuk hipertensi awitan baru yang muncul dalam kehamilan

Klasifikasi Diagnosa
1. Gestasional hipertensi
- Tekanan darah ¡Ý 140/90 mm Hg untuk pertama kali selama hamil
- Tidak ada proteinuria
- Tekanan darah kembali ke normal < 12 minggu postpartum
- Diagnosa akhir dibuat postpartum
- Mungkin memperlihatkan tanda-tanda lain preeklampsia, misalnya nyeri epigastrium

2. Pre eklampsia
a. Kriteria minimal:
- TD ¡Ý 140/90 mmHg setelah gestasi 20 minggu
- Proteinuria ¡Ý 300 mg/24 jam atau ¡Ý 1+ pada dipstick
b. Peningkatan kepastian Pre eklampsia
- TD ¡Ý160/110 mmHg
- Proteinuria 2 gram/ 24 jam atau ¡Ý 2+ pada dipstik
- Kreatinin serum > 1,2 mg/dl kecuali diketahui telah meningkat sebelumnya
- Trombosit < 100000/mm3
- Hemolisis mikroangiopatik
- Peningkatan ALT/AST
- Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan lainnya
- Nyeri epigastrium menetap
3. Eklampsia
Kejang yang tidak disebabkan oleh hal lain pada seorang wanita dengan preeklampsia
4. Pre eklampsia pada hipertensi kronik (superimposed preeklampsia)
- Proteinuria awitan baru ¡Ý 300 mg/24 jam pada wanita pengidap hipertensi tapi tanpa proteinuria sebelum gestasi 20 minggu
- Terjadi atau tekanan darah atau hitung trombosit < 100000/mm3 secara peningkatan proteinuria mendadak pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum gestasi 20 minggu
5. Hipertensi kronik
- TD ¡Ý 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum gestasi 20 minggu
- Hipertensi yang pertama kali di diagnosa setelah gestasi 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu postpartum.

Etiologi
Semua teori yang menjelaskan tentang preeklampsia harus dapat menjelaskan pengamatan bahwa hipertensi pada kehamilan jauh lebih besar kemungkinannya timbul pada wanita yang :
1. Terpajan ke villus korion pertama kali
2. Terpajan ke villus korion daalam jumlah yang sangat besar
3. Sudah mengidap penyakit vascular
4. Secara genetik rentan terhadap hipertensi yang timbul saat hamil

Menurut Sibai (2003) terdapat beberapa penyebab potensial, yaitu :
1. Invasi trophoblas abnormal
Tidak seperti pada implantasi normal, pada preeklampsia tropoblas mengalami invasi inkomplet

2. Faktor imunologis
Resiko gangguan hipertensi meningkat cukup besar pada keadaan-keadaan ketika pembentukan antibodi penghambat terhadap tempat-tempat antigenic diplasenta mungkin terganggu
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular dan peradangan dari kehamilan normal
Dalam berbagai cara diperlihatkan bahwa peradangan akan di ikuti oleh lepasnya mediator/agen yang dapat memicu kerusakan endotel
4. Faktor nutrisi.
Sejumlah defisiensi atau berlebihnya kandungan dalam diet seperti protein, urin dan lemak dianggap berperan pada terjadinya preeklampsia.
5. Faktor genetik.
Kecenderungan mengidap preeklampsia.eklampsia. Cooper dan Liston (1979) meneliti adanya kerentanan preeklampsia. Bergantung pada sebuah gen resesif.

Patogenesis
1) Vasospasme
Konsep Vasospasme diajukan oleh Volhard berdasarkan pengamatan langsung pada pembuluh darah kecil pada dasar kuku, fundus okuli dan konjungtiva bulbi. Konstriksi vaskular menyebabkan tahanan dan selanjutnya menimbulkan hipertensi.
2) Aktivasi sel endotel
Dalam hal ini faktor yang disekresikan ke dalam sirkulasi ibu yang kemungkinan besar berasal dari plasenta menyebabkan aktivasi dan disfungsi vascular endothelium.. sindrom klinis preeklampsia diperkirakan karena perubahan sel endotel yang luas.
3) Peningkatan respon pressor, inhibisi nitrik oksida sintesa dll

Vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklampsia-eklampsia. Konstriksi vaskular menyebabkan resistensi aliran darah dan menjadi penyebab hipertensi arterial. Besar kemungkinan bahwa vasospasme itu sendiri menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Selain itu angiotensin II menyebabkan sel endotel berkontraksi. Perubahan-perubahan ini mungkin menyebabkan kerusakan sel endotel dan kebocoran di celah-celah sel endotel. Kebocoran ini menyebabkan konstituen darah mengendap di sub endotel.

1. Perubahan kardiovaskular
Gangguan fungsi kardiovaskular pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi. Selain itu terdapat perubahan hemodinamik, perubahan volume darah berupa hemokonsentrasi.

2. Perubahan hematologis
Pembekuan darah terganggu waktu trombin menjadi memanjang. Yang paling khas adalah trombositopenia dan gangguan faktor pembekuan lain seperti menurunnya kadar antitrombin III

3. Perubahan Endokrin dan metabolik
Selama kehamilan normal kadar rennin, angiotensin II, dan aldosteron dalam plasma meningkat. Penyakit hipertensi akibat kehamilan menyebabkan kadar zat ini menurun
a. Ginjal
Pada sebagian besar wanita dengan preeklampsia, penurunan laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat disbanding kadar normal selama hamil (0,5 mg/dl). Untuk memastikan diagnosis preeklampsia harus ada proteinuria. Seperti pada glomerulopati lainnya terdapat peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Sebagian besar penelitian biopsy ginjal menunjukkan pembengkakan endotel kapiler glomerulus yang disebut endoteliosis kapiler glomerulus
b. Hati
Nekrosis hemoragik periporta dibagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar merupakan penyebab meningkatnya kadar enzim hati dalam serum. Keterlibatan hepar pada preeklampsia-eklampsia adalah hal yang serius dan sering disertai oleh keterlibatan organ lain seperti ginjal dan otak, bersama dengan hemolisis dan trombositopenia, keadaan ini sering disebut sebagai sindrom HELLP ¨C Hemolisis, Elevated Liver enzyme dan Low plateled.
c. Otak
Lesi ini sering karena pecahnya pembuluh darah otak akibat hipertensi. Kelainan radiologis otak dapat diperlihatkan dengan CT-Scan atau MRI. Otak dapat mengalami edema vasogenik dan hipoperfusi. Pemeriksaan EEG juga memperlihatkan adanya kelainan EEG terutama setelah kejang yang dapat bertahan dalam jangka waktu seminggu.

4. Perubahan perfusi uteroplasenta.
Gangguan perfusi plasenta akibat vasospasme hampir dapt dipastikan sebagai penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal yang menyertai preeklampsia. Upaya untuk mengukur aliran darah plasenta dan ibu hamil sulit dilakukan karena sulitnya akses ke plasenta dan tidak memungkinkan penggunaan beberapa teknik penelitian untuk diterapkan pada manusia.

Prediksi dan pencegahan
Prediksi
Berbagai penanda biokimia dan biofisik ¨C yang terutama didasarkan pada keterlibatan yang logis dalam patologi dan patofisiologi gangguan hipertensi pada kehamilan diduga dapat dipergunakan untuk meramalkan timbulnya preeklampsia pada kehamilan tahap lanjut. Peningkatana tekanan darah pada uji angiotensin II dan uji berguling mencirikan kemungkinan terjadinya preeklampsia lebih besar.

Pencegahan
Biasanya usaha-usaha ini mencakup manipulasi diet dan usaha farmakologis untuk memodifikasi mekanisme patofisiologis yang diperkirakan berkaitan dengan preeklampsia. Usaha uasaha yang dilakukan termasuk pembatasan konsumsi garam, pemberian aspirin dosis rendah dan anti oksidan. Usaha sering tidak berpengaruh bahkan jika dibandingkan dengan pemberian placebo.

Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah :
1. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan bayinya
2. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang.
3. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.

Deteksi prenatal dini. Secara tradisional waktu pemeriksaan perinatal dijadwalkan setiap 4 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu, kemudian setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu. Peningkatan kunjungan prenatal selama trimester terakhir memungkinkan kita mendeteksi dini pre eklampsia.

Penatalaksanaan di Rumah sakit. Rawat inap dipertimbangkan, paling tidak pada awalnya. Evaluasi sistematik dilakukan mencakup :
1. Pemeriksaan terinci diikuti pemantauan setiap hari untuk mencari temuan-temuan klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium dan pertambahan berat badan
2. Berat badan saat masuk dan kemudian setiap hari
3. Analisis proteinuria saat masuk dan kemudian paling tidak setiap 2 hari
4. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk paling tidak setiap 4 jam
5. Pengukuran kreatinin plasma atau serum, hematokrit, trombosit dan enzim hati
6. Evaluasi ukuran janin dan volume cairan amnion, baik secara klinis maupun USG

Terminasi kehamilan
Pelahiran janin adalah penyembuhan bagi pre eklampsia. Bila janin dicurigai atau diketahui premature penundaan persalinan dengan harapan tambahan beberapa minggu in utero akan menurunkan resiko kematian atau morbiditas serius pda neonatus. Pada preeklampsia yang sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat inap biasanya dianjurkan pelahiran janin demi kesejahteraan ibu dan janinnya.
Persalinan sebaiknya di induksi dengan oksitosin intravena. Apabila tampaknya induksi persalinan hampir pasti gagal atau upaya induksi persalinan gagal, di indikasi persalinan seksio caesaria untuk kasus-kasus yang lebih parah. Bagi wanita yang kehamilannya menjelang aterm dengan servik lunak dan sebagian telah mendatar, bahkan preeklampsia derajat ringan pun menimbulkan resiko yang besar pada ibu dan janin-bayi daripada resiko induksi persalinan yang dipantau ketat. Beberapa kekhawatiran antara lain servik yang kurang matang sehingga induksi persalinan sulit berhasil, adanya perasaan darurat karena keparahan preeklampsia, dan perlunya mengkoordinasikan perawatan antenatal mendorong sebagian dokter menganjurkan seksio sesaria.

Tabel Gangguan Hipertensi pada Kehamilan: Indikasi Keparahan

Kelainan Ringan Berat
Tekanan darah diastolik < 100 mmHg 110 mmHg atau lebih
Proteinuria Samar (trace) sampai +1 +2 persisten atau lebih
Nyeri Kepala Tidak ada Ada
Gangguan Penglihatan Tidak ada Ada
Nyeri Abdomen atas Tidak ada Ada
Oligouria Tidak ada Ada
Kejang Tidak ada Ada (eklampsia)
Kreatitin serum Normal Meningkat
Trombositopenia Tidak ada Ada
Peningkatan Enzim Hati Minimal Nyata
Pertumbuhan janin terhambat Tidak ada Jelas
Edema Paru Tidak ada Ada

Penundaan pelahiran pada preeklampsia berat
Wanita dengan preeklampsia berat biasanya harus segera menjalanipelahiran. Pada tahun-tahun terakhir ini beberapa peneliti menganjurkan penatalaksanaan konservatif dengan tujuan memperbaiki prognosis janin tanpa mengurangi keselamatan ibu. Pertama, Pada penatalaksanaan menuggu interval rawat inap sampai melahirkan dirumah sakit mereka sangat singkat, terutama pada kehamilan yang menunjukkan efektivitas dan keamanan penatalaksanaan menunggu. Kedua, mungkin bahkan sangat mungkin bahwa perbedaan usia gestasi antara preeklampsia berat dan sindrom Hellp berkaitan dengan awitan penyakit itu sendiri, yaitu sindrom Hellp mungkin timbul lebih awal pada kehamilan daripada preeklampsia berat. Ketiga, hambatan pertumbuhan janin banyak di jumpai pada wanita dengan penyakit berat dan merugikan kelangsungan hidup bayi, yang tidak membaik oleh keparahan penyakit ibu.

Terapi antihipertensi
Pemakaian antihipertensi telah lama menjadi perhatian sebagai upaya memodifikasi prognosis perinatal. Pemberian labetolol sebagai anti hipertensi telah menyebabkan hambatan pertumbuhan dua kali lipat lebih sering dibanding dengan hanya dirawat saja. Para peneliti lain menyimpulkan bahwa penurunan tekanan darah ibu akibat terapi dpt merugikan pertumbuhan janin.
Pemakaian ACE-Inhibitor selama trimester kedua dan ketiga harus dihindari.Penyulit yang pernah dilaporkan adalah oligohidramnion, pertumbuhan janin terhambat, malformasi tulang, kontraktur ekstremitas, duktus arteroisus paten yang menetap, hipoplasia paru, sindrom gawat napas, hipotensi neonatus yang berkepajangan, dan kematian neonatus.

Eklampsia
Preeklampsia yang dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut eklampsia. Koma fatal tanpa kejang juga pernah disebut eklampsia; namun, sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan kematian pada kasus non kejang sebagai kasus yang disebabkan oleh pre eklampsia berat. Eklampsia disebut antepartum, peripartum atau postpartum tergantung kapan kejangnya muncul.
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedut-kedutan (twitching). Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya. Apabila kejangnya jarang wanita yang bersangkutan biasanya pulih kesadarannya setelah tiap serangan. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikuti koma yang berkepanjangan walaupun umumnya kematian tidak terjadi sampai setelah kejang berulang-ulang.
Pada preeklampsia antepartum, tanda-tanda persalinan dapat dimulai dengan segera setelah kejang dan berkembang dengan cepat, kadang-kadang sebelum petugas menyadari bahwa wanita yang tidak sadar ini mengalami his. Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat sangat mneingkat, dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami hipoksemia ada asidemia laktat akibat kejang janin dapat mengalami bradikardia setelah serangan kejang. Pada sebagian wanita dengan eklampsia kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak massif. Perdarahan sub luteal dapat menyebabkan hemiplegia.
Pengobatan
Sebagian regimen eklampsia yang digunakan mempunyai dasar fisiologi yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup :
1. Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium sulfat ini di lanjutkan dengan infuse kontinu atau dosis bolus intramuskular dan diikuti oleh suntikan intramuskular berkala
2. Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten utnuk menurunkan tekanan darah apabila tekanan diastolik dianggap terlalu berbahaya. Sebagian dokter mulai mengobati pada saat tekanan diastolik mencapai 100 mmHg
3. Menghindari diuretik dan pembatasan cairan intravena kecuali apabila pengeluaran cairan berlebihan
4. Pelahiran.

Magnesium Sulfat Untuk Mengendalikan Kejang
Cara pemberian Magnesium Sulfat untuk Preeklampsia Berat dan Eklampsia
Infus intravena kontinu
1. Berikan dosis bolus 4 ¨C 6 gram MgSO4 yang di encerkan dalam 100 ml cairan IV dan diberikan dalam 15-20 menit.
2. Mulai infuse rumatan dengan dosis 2 gram /jam dalam 100 ml cairan IV
3. Ukur kadar magnesium sulfat pada 4-6 jam setelahnya dan sesuaikan kecepatan infuse untuk mempertahan kadar antara 4 dan 7 mEq/l(4,8-8,4 mg/dl)
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah bayi lahir
Injeksi intramuscular intermiten
1. Berikan 4 g magnesium sulfat (MgSO4.7H2O USP) sebagai larutan 20 % secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit
2. Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan Magnesium sulfat 50 %, separuhnya (5 g) disuntikkan dalam-dalam di kuadran lateral atas bokong dengan jarum ukuran 20 dengan sepanjang 3 inci. Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan magnesium sulfat sampai 2 gram dalam bentuk larutan 20 % secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 g/mnt. Apabila wanita tersebut bertubuh besar dapat diberikan sampai 4 g secara perlahan-lahan.
3. Setiap 4 jam sesudahnya berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50 % yang disuntikkan dalam-dalam ke kuadran lateral aras bokong bergantian kiri dan kanan, tetapi hanya setelah dipastikan :
a. reflek patella masih baik
b. tidak terdapat depresi pernafasan
c. pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml
4. Magnesium sulfat di hentikan setelah 24 jam.

Efektivitas klinis terapi magnesium sulfat
Wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat mengalami 50 % kejang berulang dibandingkan dengan mereka yang mendapat diazepam. Pada perbandingan lain wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat lebih kecil kemungkinan memerlukan ventilasi buatan, terjangkit pneumonia dan dirawat di ruang perawatan intensif daripada mereka yang mendapat fenitoin.

Mencegah eklampsia
Terapi magnesium sulfat lebih baik daripada fenitoin dalam mencegah kejang eklampsia. Masih terus terjadi silang pendapat mengenai apakah magnesium sulfat profilakis perlu diberikan secara rutin kepada semua wanita bersalin yang mengalami hipertensi. Perdebatan saat ini berpusat pada wanita preeklamptik mana yang perlu diberi profilaksis. Mamfaat magnesium sulfat profilaktik bagi wanita dengan preeklampsia ringan masih diperdebatkan karena resiko eklampsia yang diperkirakan adalah 1 dalam 100 atau kurang. Witlin dan Sibai baru-baru ini mengulas bukti efektivitas magnesium sulfat untuk mengobati dan mencegah kejang akibat gangguan hipertensi pada kehamilan. Mereka menyimpulkan bahwa walaupun magnesium sulfat jelas bermamfaat bagi wanita preeklampsia berat dan eklampsia, perlu tidaknya pemberian profilaktik bagi wanita dengan penyakit ringan masih belum jelas.


DAFTAR PUSTAKA

1. Leon speroff and Marc A.frizt, Contraception In Clinical Gynecologic Endocrinology and infertility, Lippincot William & Wilkin Philadelphia, 2005, 827 ¨C 997
2. Ronal T. Burkman, Contraception and family planning , Current, Obstetric ang gyneacologic diagnose and treatment, Boston, 1994: 670 ¨C 686
3. Hanifa Wiknjosastro, Ilmu kandungan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 1999: 534-575
4. Johanna F. Perlut mutter et al, Kontrasepsi dalam Ginekologi Seri skema dan diagnosis, BinarupaAksara, Jakarta, 1998: 30-31.
5. Cunningham FG et al, Contraception, In William Obstetrics 22nd edition, Mc Graw Hill, USA, 2005: 725-746
6. Ali Baziad, Estrogen dan progesterone, endokrinologi Ginekologi, Media Ausculapius FKUI, Jakarta, 2003: 112-122.

Rabu, 17 Juni 2009

ASUHAN KEPERAWATAN ASMA BRONKIAL

ASUHAN KEPERAWATAN ASMA BRONKIAL

A. Pengertian

Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic Society ).

B. Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.



C. Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
a. Faktor predisposisi
• Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
• Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
• Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
• Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bias memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejalaasma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalamistress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belumbisa diobati.
• Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Halini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja dilaboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

D. Patofisiologi

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktorkemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa. menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan
udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

E. Manifestasi Klinik

Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ),
batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala
tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
° Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinopil.
° Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
° Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
° Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
° Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
° Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
° Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.

Pencetus :
• Allergen
• Olahraga
• Cuaca
• Emosi (Imun respon menjadi aktif Pelepasan mediator humoral)
• Histamine
• SRS-A
• Serotonin
• Kinin
• Bronkospasme
• Edema mukosa
• Sekresi meningkat
• inflamasi
Penghambat kortikosteroid

° Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
° Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
° Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
° Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
° Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
° Bilaterjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen padaparu-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
° perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation.
° Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
bundle branch block).
° Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
4. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

F. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
6. Deformitas thoraks
7. Gagal nafas

G. Penatalaksanaan

Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik:
° Memberikan penyuluhan
° Menghindari faktor pencetus
° Pemberian cairan
° Fisiotherapy
° Beri O2 bila perlu.
2. Pengobatan farmakologik :
° Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2
golongan :
a. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
- Orsiprenalin (Alupent)
- Fenoterol (berotec)
- Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered doseinhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (VentolinDiskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
b. Santin (teofilin)
Nama obat :
- Aminofilin (Amicam supp)
- Aminofilin (Euphilin Retard)
- Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai padaserangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung kepembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya
dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
° Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
° Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika secara oral.

G. Pengkajian

Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
Riwayat kesehatan yang lalu:
• Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
• Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
• Kaji riwayat pekerjaan pasien.
Aktivitas
• Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
• Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
• Tidur dalam posisi duduk tinggi.
Pernapasan
• Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
• Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
• Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan
hidung.
• Adanya bunyi napas mengi.
• Adanya batuk berulang.
Sirkulasi
• Adanya peningkatan tekanan darah.
• Adanya peningkatan frekuensi jantung.
• Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
• Kemerahan atau berkeringat.
Integritas ego
• Ansietas
• Ketakutan
• Peka rangsangan
• Gelisah
Asupan nutrisi
• Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
• Penurunan berat badan karena anoreksia.
Hubungan sosal
• Keterbatasan mobilitas fisik.
• Susah bicara atau bicara terbata-bata.
• Adanya ketergantungan pada orang lain.
Seksualitas
• Penurunan libido
H. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa 1 : Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
Hasil yang diharapkan: mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan
jelas.
Intervensi Rasional
1. Mandiri
• Auskultasi bunyinafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
• Kaji/ pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi.
• Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
• Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien,contoh: meninggikan kepala tempat tidur,duduk pada sandara tempat tidur
• Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll
• Tingkatkanmasukancairansampai dengan 3000 ml/ harisesuaitoleransi jantung
memberikan air hangat.
2. Kolaborasi
• Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
• Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
• Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.
• Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan dirumah sakit.
• Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan
menggunakan gravitasi.
• Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.
• Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
• Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.


Diagnosa 2: Malnutrisi b/d anoreksia
Hasil yang diharapkan : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang
tepat.
Intervensi Rasional
1.Mandiri
• Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.
• Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
2. Kolaborasi
• Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
• Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.
• Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
• Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan.

Diagnosa 3 : Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus)
Hasil yang diharapkan ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.
Intervensi Rasional
1. Mandiri
• Kaji/awasi secara rutin kulitdan membrane mukosa.
• Palpasi fremitus
• Awasi tanda vital dan irama jantung
2. Kolaborasi
• Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasilAGDA dan toleransi pasien.
• Sianosismungkin perifer atau sentralkeabu-abuan dan sianosis sentral meng-indikasi kan beratnya hipoksemia.
• Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
• Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
• Dapat memperbaikiatau mencegah memburuknya hipoksia.

Diognasa 4: Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas.
Hasil yang diharapkan :
- mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau menurunkan resikoinfeksi.
- Perubahan ola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.
Intervensi Rasional
1.Mandiri
• Awasi suhu.
• Diskusikan kebutuhan nutrisiadekuat
2. Kolaborasi
• Dapatkan specimensputum dengan batuk atau pengisapan untukpewarnaan gram,kultur/sensitifitas.
• Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.
• Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
• untuk mengidentifikasiorganismepenyabab dan kerentanan terhadap berbagai anti microbial

Diagnosa 5: Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti.
Hasil yang diharapkan :
• menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.
Intervensi Rasional
• Jelaskan tentang penyakitindividu
• Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
• Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler.
• Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana
pengobatan.
• Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan.
• Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.




DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. (1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam,
Jakarta : FK UI.

Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.

Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell
Scientific Publication.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan
Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta: EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”,Jakarta : EGC.

Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger.

Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.

Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.

Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku
Saku, Jakarta : Salemba Medika.

Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.

Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.

ASKEP ANAK PASIEN DENGAN DEMAM BERDARAH

SUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DEMAM BERDARAH

A. Definisi

1. DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Cristantie, 1995).

2. Dengue Haemorhagik Fever (DHF) atau demam berdarah adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dengan gejala utama demam dan manifestasi perdarahan pada kulit atau pun bagian tubuh lainnya yang bertendensi menimbulkan renjatan dan dapat berlanjut dengan kematian.

B. Etiologi

Virus dengue (arbovirus) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti yang menggigit manusia pada siang hari, hidup di air jernih, bersih dan berbentuk batang, stabil pada suhu 70o C.

C. Patofisiologi

Fenomena patologis yang utama pada penderita DBD adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra vaskuler. Demam terjadi karena virus dengue yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti membentuk antibodi terhadap penyakit. Setelah terjadi virus-antibodi dalam system sirkulasi, akan mengakibatkan aktifnya system komplemen (suatu sistem dalam sirkulasi darah terdiri dari 11 komponen protein dan beredar dalam bentuk yang tidak aktif serta labil terhadap suhu panas). Bila system komplemen aktif maka tubuh akan melepaskan histamin yang merupakan mediator kuat yang menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat.

Tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah menyebabkan kebocoran plasma yang berlangsung selama perjalanan penyakit sejak permulaan masa demam dan mencapi puncaknya pada masa renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai 30 % atau lebih. Jika keadaan tersebut tidak teratasi, akan menyebabkana anoksia jaringan, asidosis metabolic dan berakhir dengan kematian.

Perdarahan yang terjadi pada pasien DBD terjadi karena trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (Protrombin, factor V, VII, IX, X dan fibrinogen). Perdarahan hebat dapat terjadi terutama pada traktus gastrointestinal.

D. Tanda Dan Gejala

1. Demam tinggi yang timbul secara mendadak tanpa sebab yang jelas disertai dengan keluhan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, muntah, nyeri pada anggota badan, punggung, sendi, kepala dan perut. Gejala menyerupai influenza biasa. Ini berlangsung selama 2-7 hari.

2. Hari ke 2 dan 3, timbul demam. Uji tourniquet positip karena terjadi perdarahan di bawah kulit (peteki, ekimosis) dan di tempat lain seperti epistaksis, perdarahan gusi, hematemisis akibat perdarahan dalam lambung, melena dan juga hematuria massif.

3. Antara hari ke 3 dan ke 7 syok terjadi saat demam menurun. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari tangan dan kaki, nadi cepat dan lemah sampai tak teraba, tekanan nadi menyempit ( < style=""> mmHg ) sampai tak terukur, anak sangat gelisah.

4. Hepatomegali pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari yang hanya sekdar diraba sampai 2-4 cm dibawah lengkung iga sebelah kanan. Nyeri tekan pada hepar tampak jelas pada anak besar, ini menandakan telah terjadi perdarahan.

Pada penderita DBD sering dijumpai pembesaran hati, limpa kalenjar getah bening atau kembali normal pada masa penyembuhan.

Pada penderita yang mengalmi renjatan akan mengalami sianosis perifer, kulit teraba lembut dan dingin, hipotensi, nadi cepat dan lemah.

Derajat beratnya DBD berdasar patokan WHO tahun 1975:

Derajat I : Demam disertai gejala infeksi tak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquaet positif.

Derajat II : Derajat I ditambah perdarahan spontan dikulit atau ditempat lain

Derajat III : Renjatan (kegagalan sirkulasi) yang ditansi dengan nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun atau hipotensi disertai dingin lembab dan gelisah

Derajat IV : Renjatan dalam dengan nadi tak teraba dan tensi tak teratur

E. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang

1. Laboratorium :

a. * Trombositopenia : trombosit <>2, penurunan progresif pada pemeriksaan periodik dan waktu perdarahan memanjang.

b. *Hemokonsentrasi : Hematokrit saat masuk rumah sakit > 20 % atau meningkat progresif pada pemeriksan periodik.

c. * Hb meningkat > 20 %

d. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia, pada hari ke-2 dan ke-3 terjadi leucopenia.

e. *SGOT dan SGPT mungkin meningkat : ureum, pH darah bisa meningkat.

2. Foto thorax :

a. Foto thorax lateral dekubitus kanan terdapat efusi pleura dan bendungan pembuluh darah.

b. Darah rutin Hb, leukosit, hitung jenis (limfosit plasma darah 6 – 30%).

c. Waktu perdarahan dengan cara LVY ( n = 1-7 menit).

F. Komplikasi

1) Perdarahan otak

2) Sindroma distress napas dewasa

3) Infeksi nosokomial seperti pneumonia, tromboplebitis, sepsis dan shock sepsis

G. Penatalaksanaan/Pengobatan

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatik dan supportif dengan tujuan :

~ Mengganti cairan intra vascular

~ Memperbaiki keadaan umum pasien

Ada tiga fase penatalaksaan penderita DHF secara umum yaitu ;

a. Fase demam

1) Pengobatan simtomatik dan supportif

@ Antipiretik diberikan untuk menurunkan demam, kompres hangat dapat diberikan apabila pasien masih tetap panas.

@ Pengobatan supportif dapat diberikan untuk merehidrasi cairan yang hilang yaitu dengan pemberian ; larutan oralit, jus buah-buahan dan lain-lain.

2) Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrsi dan muntah hebat segera koreksi dengan memberiakan cairan parenteral.

3) Semua tersangka demam berdarah harus diawasi ketat setiap hari sejak sakit hari ke-3.

b. Fase Kritis

1) Rawat dibangsal khusus sehingga mudah untuk diawasi.

2) Observasi tanda vital, asupan dan keluaran cairan dalam lembar khusus.

3) Berikan oksigen pada penderita dengan syok.

4) Hentikan perdarahan dengan tindakan tepat.

5) Pemberian cairan intra vena.

c. Fase Penyembuhan

Cairan intra vena dihentikan. Bila ditemukan gejala napsu makan tidak meningkat atau perut terlihat kembung maka dapat diberikan buah-buahan atau oralit untuk menanggulangi gangguan elektrolit.

JENIS TINDAKAN :

a. Pengganti cairan (volume plasma)

1) DBD tanpa renjatan :

a) Minum banyak 1,5 – 2 Liter / hari, berupa air gula, susu teh dengan gula atau air buah.

b) Pemberian caira intravena, bila :

@ Penderita muntah-muntah terus.

@ Intake tidak terjamin.

@ Pemeriksaan berkala hematokrit cenderung meningkat terus. Jenis cairan RL atau asering 5 10 ml / kg bb / hari. IVFD dalam 24 jam, bila diperlukan infuse lanjutan diberi dengan hanya memperhitungkan NWL dan CWL atau 5-7 ml / kg bb / hari.

2) DBD dengan renjatan

a) Derajat IV

Infus asering 5 / RL diguyur atau dibolus 100-200 ml sampi nadi teraba serta tensi terukur. Biasanya sudah tercapai dalam 15-30 menit.

b) Derajat III

Infus asering 5 / RL dengan kecepatan 20 tetes permenit / kg bb/ jam. Setelah renjatan teratasi :

§ Tekanan Sistol >80 mmHg

§ Nadi jelas teraba

§ Amplitudo nadi cukup besar

c) Kecepatan tetesan diubah jadi 10 ml / kg bb / jam selam 4 – 8 jam. Bila keadaan umum tetap bik, jumlah caoiran dibatasi sekitar 5 – 7 ml / kg bb/ jam dengan larutan RL / Dextrose 5 % 1:1 atau asering 5. Infus dipertahankan 48 jam setelah renjatan.

d) Pada renjatan berat dapat diberikan cairan plasma atau pengganti plasma (expander plasma / dextran L) denga kecapatan 10 – 20 ml / kg bb / jam dan maksimal 20 – 30 ml / kg bb / hari. Dalam hal ini dipasang 2 infus 1 untuk larutan RL dan 1 untuk cairan plasma atau pengganti plasma.

b. Tindakan Lain

1) Transfusi darah dengan indikasi :

a) Perdarahan gastrointestinal berat: melena, hematemesis.

b) Dengan pemeriksaan hb, hct secara periodic terus terjadi penurunan, sedang penderita masih dalam renjatan atau keadan akut semakain menurun.

Jumlah yang diberikan 20 ml / kg bb / hari dapat diulangi bila perlu.

2) Anti konvulsan, bila disertai kejang maka diberi :

a) Diasepam 10 mg secara rectal atau intra vena.

b) Phenobarbital 75 mg secara IM sesuai penatlaksanaan kejang pada anak.

3) Antipiretik dan kompres pada penderita dengan hiperpireksi. Obat yang diberikan ialah paracetamol 10 mg / kg bb / hari.

4) Oksigen diberikan pada pendertita renjatan dengan cianosis 2 – 4 L / menit.

5) Antibiotika pada penderita dengan renjatan lama atau terjadi infeksi infeksi sekunder.

6) Korticosteroid diberikan pada pasien dengan ensefalopati.

PENGAMATAN LANJUT :

1. Observasi tanda-tanda vital

2. Diuresis

3. Kadar HB dan HCT diperiksa 3 kali setiap 1 – 2 jam sewaktu masuk rumah sakit. Kemudian secara periodik setiap 6 jam pada hari pertama pengamatan, selanjutnya sekali sehari sesuai dengan keadaan penderita.

4. mengawasi tanda perdarahan GI, Hepatomegali, dan gejala udema paru.

5. Observasi intake dan out put.

INDIKASI PENDERITA DHF DIRAWAT :

1. DBD dengan renjatan

2. DBD disertai dengan ;

@ Panas tinggi atau kejang.

@ Muntah, intake tidak terjamin.

@ HCT cenderung meningkat terus.

INDIKASI PENDERITA DHF PULANG :

1. Bebas demam dalam 24 jam.

2. secara klinis tampak ada perbaikan.

3. Napsu makan baik.

4. Nilai Ht stabil dan trombosit > 50.000 / mm3.

5. Tidak ada sesak.

H. ASUHAN KEPERAWATAN

  1. Pengkajian Data Dasar

1. Aktivitas/istirahat

Malaise

2. Sirkulasi

Tekanan darah di bawah normal, denyut perifer melemah, takikardi, susah teraba.

Kulit hangat, kering, pucat, kemerahan/ bintik merah, perdarahan bawah kulit.

3. Eliminasi

Diare atau konstipasi.

4. Makanan/ cairan

Anoreksia, mual, muntah.

Penurunan berat badan, punurunan haluaran urine, oligouria, anuria.

5. Neurosensori

Sakit kepala, pusing, pingsan.

Ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium.

6. Nyeri/ Ketidaknyamanan

Kejang abdominal, lokalisasi area sakit.

7. Pernapasan

Takipneu dengan penurunan kedalaman pernapasan, suhu meningkat, menggigil.

8. Penyuluhan/ pembelajaran

Masalah kesehatan, penggunaan obat-obatan atau tindakan.

  1. Diagnosa Keperawatan

1. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses penyakit/ viremia.

2. Nyeri sehubungan dengan proses patologi penyakit .

3. Defisit volume cairan tubuh sehubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma, evaforasi, intake tidak adekuat.

4. Risiko tinggi terjadinya perdarahan sehubungan dengan trombositopenia.

5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

6. Intoleransi aktifitas sehubungan dengan kelemahan.

7. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan perawatan pasien DHF sehubungan dengan kurangnya informasi.

  1. Rencana Keperawatan

1. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses penyakit/ viremia

Tujuan : Klien tidak mengalami demam, suhu tubuh normal (360 – 370).

Intervensi:

a. Kaji saat timbulnya demam

R/ Untuk menidentifikasi pola demam klien dan sebagai indikator untuk tindakan selanjutnya.

b. Observasi tanda – tanda vital klien : suhu, nadi, tensi, pernapasan, tiap 4 jam atau lebih sering

R/ Tanda –tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.

c. Beri penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh

R/ Penjelasan tentang kondisi yang dialami klien dapat membantu klien/keluarga mengurangi kecemasan yang timbul.

d. Menjelaskan pentingnya tirah baring bagi pasien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan.

R/ Penjelasan yang diberikan akan memotivasi klien untuk kooperatif.

e. Menganjurkan pasien untuk banyak minum ± 2,5 ltr/24 jam dan jelaskan manfaatnya bagi pasien.

R/ Peningkatan suhu tubuh akan menyebabkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

f. Berikan kompres hangat pada kepala dan axilla

R/ Pemberian kompres akan membantu menurunkan suhu tubuh.

g. Catat intake dan out put.

R/ Untuk mengetahui adanya ketidakseimbangan cairan tubuh.

h. Kolaborasi: Pemberian antipiretik

R/ Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

2. Nyeri sehubungan dengan proses patologi penyakit

Tujuan : Rasa nyaman klien terpenuhi, nyeri berkurang atau hilang, klien tampak rileks.

Intervensi:

a. Kaji tingkat nyeri yang dialami klien.

R/ Untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami klien.

b. Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi klien terhadap nyeri (budaya, pendidikan,dll)

R/ Reaksi klien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, dengan mengetahui faktor tersebut maka perawat dapat melakukan intervensi sesuai masalah klien.

c. Berikan posisi nyaman, dan citakan lingkungan yang tenang.

R/ Untuk mengurangi rasa nyeri

d. Berikan suasana gembira bagi klien, lakukan teknik distraksi, atau teknik relaksasi.

R/ Dengan teknik distraksi atau relaksasi, klien sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.

e. Beri kesempatanklien untuk berkomunikasi dengan orang terdekat.

R/ Berhubungan dengan orang terdekat dapat membuat klien teralih perhatiannya dari nyeri yang dialami.

f. Kolaborasi: Berikan obat-obat analgetik

R/ Obat analgetik dapat mengurangi atau menekan nyeri klien.

3. Defisit volume cairan tubuh sehubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma, evaforasi, intake tidak adekuat

Tujuan : Terjadi homeostatis volume cairan, tanda tanda vital dalam batas normal, tidak terjadi defisit cairan..

Intervensi:

a. Kaji keadaan umum klien 9pucat, lemah, taki kardi), serta tanda –tanda vital.

R/ menetapkan data dasar, untuk mengetahui dengan cepat penyimpangan dari keadaan normalnya.

b. Observasi adanya tanda – tanda syok

R/ Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok yang dialami klien.

c. Anjurkan klien untuk banyak minum

R/ asupan cairan sangat diperluakan untuk menambah volume cairan tubuh.

d. Kaji tanda dan gejala dehidrasi/hipovolemik (riwayat muntah, diare, kehausan, turgor jelek)

R/ Untuk mengetahui penyebab defisit volume cairan

e. Kaji masukan dan haluaran cairan.

R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan.

f. Kolaborasi : Pemberian cairan intra vena sesuai indikasi.

R/ Pemberian cairan intra vena sangat penting bagi klien yang mengalami defisit volume cairan dengan keadaan umum yang buruk untuk rehidrasi.

4. Risiko tinggi terjadinya perdarahan sehubungan dengan trombositopenia.

Tujuan : Tidak terjadi tanda tanda perdarahan lebih lanjut dan terjadi peningkatan trombosit> 150.000

Intervensi:

a. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai dengan tanda-tanda klinis.

R/ Penurunan jumlah trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan perdarahan.

b. Beri penjelasan tentang pengaruh trombositopenia pada klien.

R/ Agar klien/keluarga mengetahui hal hal yang mungkin terjadi padaklien dan dapat membantu mengantisipasi terjadinya perdarahan.

c. Anjurkan klien untuk banyak istirahat

R/ Aktivitas klien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.

d. Beri penjelasan pada klien/keluarga untuk segera melaporkan tanda-tanda perdarahan (hematemesis,melena, epistaksis)

R/ Keterlibatan keluarga akan sangat membantu klien mendapatkan penanganan sedini mungkin.

e. Antisipasi terjadinya perdarahan ( sikat gigi lunak, tindakan incvasif dengan hati-hati)

R/ Klien dengan trombositopenia rentan terhadap cedera/perdarahan.

5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan.

Intervensi:

a. Kaji keluhan mual, muntah, dan sakit menelan yang dialami klien

R/ Untuk menetapkan cara mengatasinya.

b. Kaji cara/pola menghidangkan makanan klien

R/ Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan klien.

c. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur dan dihidangkan saat masih hangat.

R/ Membantu mengurangi kelelahan klien dan meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.

d. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering

R/ Untuk menghindari mual dan muntah serta rasa jenuh karena makanan dalam porsi banyak.

e. Jelaskan manfaat nutrisi bgi klien terutama saat sakit.

R/ UntukMeningkatkan pengetahan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan meningkat.

f. Berikan umpan balik positif saat klien mau berusaha mengahiskan makannya.

R/ Memotivasi dan meningkatkan semangat klien.

g. Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien

Mengetahui pemasukan/pemenuhan nutrisi klien.

h. Ukur berat badan kilen tiap hari.

R/ Untuk mengetahui status gizi klien.

6. Intoleransi aktifitas sehubungan dengan kelemahan

Tujuan : Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi

Intervensi:

a. Mengkaji keluhan klien

R/ Untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien.

b. Kaji hal-hal yang mampu/tidak mampu dilakukan oleh klien sehubungan degan kelemahan fisiknya.

R/ Untuk mengetahui tingkat ketergantungan klien dalam memenuhi kebutuhannya.

c. Bantu klien memenuhi kebutuhan aktivitasnya sesuai dengan tingkat keterbatasan klien seperti mandi, makan, eliminasi.

R/ Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh klien pada saat kondisinya lemah tanpa membuat klien mengalami ketergantungan pada perawat.

d. Bantu klien untuk mandiri sesuai dengan perkembangan kemajuan fisiknya.

R/ Dengan melatih kemandirian klien, maka klien tidak mengalami ketergantungan.

e. Letakkan barang-barang di tempat yang mudah dijangkau oleh klien.

R/ akan membantu klien memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain.

7. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan perawatan pasien DHF sehubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga tentang proses penyakit, diet, perawatan meningkat sehingga klien/keluarga memperlihatkan perilaku yang kooperatif.

Intervensi:

a. Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF

R/ Sebagai data fdasar pemberian informasi selanjutnya.

b. Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.

R/ Untuk memberikan penjelasan sesuai dengan tingkat pendidikan klien/ keluarga sehingga dapat dipahami.

c. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan pada klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.

R/ agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehinggfa tidak terjadi kesalahpahaman.

d. Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya pada klien.

R/ Dengan mengetahui prosedur/tindakan yang akan dilakukan dan manfaatnya, klien akan kooperatif dan kecemasannya menurun.

e. Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-hal yangingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita klien.

R/ mengurangi kecemasan dan memotivasi klien untuk kooperatif.

f. Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan penjelasan.

R/ Untuk membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan karena dapat dilihat/ dibaca berulang kali.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna, 1991, Proses keperawatan, EGC: Jakarta.

Carpenito, LJ, 1998, Diagnosa Keperawatan; aplikasi praktik klinik, EGC: Jakarta.

Doengoes,ME, 2001, diagnosa keperawatan, EGC: Jakarta.

Pasaribu, Syahril. 1992. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara : Medan

Wong, Donna. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta